Hukum Perdata di Indonesia
Hukum perdata merupakan salah satu bentuk hukum yang mengatur
hubungan antarperorangan (individu dengan individu) dalam kehidupan
sehari-hari. Hukum perdata biasa disebut juga dengan istilah “hukum privat” atau “hukum sipil”. Hukum perdata di
Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata
Belanda pada masa penjajahan.
Hukum
perdata dapat digolongkan antara lain menjadi:
- Hukum keluarga
- Hukum harta kekayaan
- Hukum benda
- Hukum Perikatan
- Hukum Waris
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak
lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau
dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di
Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk
Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai
1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di
Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata
(disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
- Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
- Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
- Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
- Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika
yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih
diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Contoh
hukum perdata dalam masyarakat adalah hukum perdata yang mengatur tentang perceraian.
Perceraian merupakan terpisahnya ikatan perkawinan antara suami dan istri
karena alasan tertentu. Perceraian dapat diajukan ke Kantor Urusan Agama (KUA)
selaku wakil dari pemerintah. KUA dapat memutuskan ikatan perkawinan tersebut
dengan berdasarkan kitab hukum perdata yang mengurus tentang perceraian.
Isi
kutipannya adalah :
Bagian 3
Perceraian perkawinan
207.
(s.d.u. dg. S. 1925-199 jo. 273.) Gugatan perceraian perkawinan harus diajukan
kepada pengadilan negeri yang di daerah hukumnya si suami mempunyai tempat
tinggal pokok, pada waktu memajukan permohonan termaksud dalam pasal 831
Reglemen Acara Perdata, atau tempat tinggal yang sebenarnya bila tidak
mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat permohonan tersebut
di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau tempat tinggal yang
sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan kepada pengadilan
negeri tempat kediaman si istri yang sebenarnya. (KUHPerd. 17, 20 dst., 33; Rv.
931 dst.)
208.
Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan
bersama. (KUHPerd. 200 dst., 236; Rv. 78.)
209.
Dasar-dasar yang dapat berakibat perceraian perkawinan hanya sebagai berikut:
1?. zinah; (KUHPerd. 32, 310, 909.) 2?. meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan itikad buruk; (KUHPerd. 211, 218.) 3?. (s.d.u. dg. S. 1917-497 jo. 646.)
dikenakan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi,
setelah dilangsungkan perkawinan; (KUHPerd. 210.) 4?. pencederaan berat atau penganiayaan,
yang dilakukan oleh salah seorang dari suami-istri itu terhadap yang lainnya
sedemikian rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau mendatangkan
luka-luka yang berbahaya. (Ov. 63; KUHPerd. 233.)
210.
Bila salah seorang dari suami-istri itu dengan keputusan hakim dikenakan
hukuman, karena telah berzinah, maka untuk mendapatkan perceraian perkawinan,
cukuplah salinan surat putusan itu disampaikan kepada pengadilan negeri, dengan
surat keterangan, bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
(s.d.u. dg. S. 1917-497 jo. 645.) Ketentuan ini berlaku juga, bila perceraian
perkawinan ini dituntut karena si suami atau si istri dikenakan hukuman penjara
lima tahun atau hukuman yang lebih berat. (KUHPerd. 219, 233 dst., 909, 1918; Sv.
189, 314.)
211.
(s.d.u. dg. S. 1925-199 jo. 273.) Dalam hal perbuatan meninggalkan tempat
tinggal bersama dengan itikad buruk, demikian pula dalam hal perubahan tempat
tinggal pokok atau tempat tinggal sebenarnya, yang terjadi setelah timbulnya
sebab perceraian perkawinan, tuntutan perceraian perkawinan itu boleh juga
diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal bersama yang terakhir. Tuntutan
akan perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan itikad buruk hanya dapat dikabulkan, bila yang meninggalkan tempat
tinggal bersama tanpa alasan sah, tetap menolak untuk kembali kepada suami atau
istrinya. Tuntutan itu tidak boleh dimulai sebelum lampau lima tahun, terhitung
sejak suami atau istri itu meninggalkan tempat tinggal bersama mereka. Bila
kepergian itu mempunyai alasan yang sah, jangka waktu lima tahun itu akan
dihitung sejak berakhirnya alasan itu. (KUHPerd. 21, 106 dst., 199, 218, 233
dst., 463, 493.)
212.
Isteri itu, baik sebagai penggugat untuk perceraian maupun sebagai tergugat,
dengan izin hakim boleh meninggalkan rumah suaminya selama berlangsungnya
persidangan. Pengadilan negeri akan menunjuk rumah di mana istri itu harus
tinggal. (KUHPerd. 21, 106, 214, 216; Rv. 835.)
213.
Isteri itu berhak untuk menuntut tunjangan nafkah, yang setelah ditentukan
hakim harus dibayar oleh si suami kepada istrinya selama berlangsungnya perkara
itu. Bila istri itu, tanpa izin hakim, meninggalkan tempat tinggal yang
ditunjuk baginya, maka tergantung pada keadaan, dia boleh tidak diberi hak lagi
untuk menuntut tunjangan, bahkan bila dia adalah penggugat, dia dapat
dinyatakan tidak dapat diterima untuk melanjutkan tuntutan hukumnya. (KUHPerd.
105, 107, 212, 217, 226, 324 dst.; Rv. 839.)
214.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengadilan negeri, selama persidangan
masih berjalan, bebas untuk mencabut pelaksanaan kekuasaan orang tua untuk
sementara, seluruhnya atau sebagian, dan sejauh dianggap perlu, memberikan
wewenang-wewenang yang demikian atas diri dan barang-barang anak-anak kepada pihak
lain dari antara orang tua itu, atau kepada orang yang ditunjuk oleh pengadilan
negeri, atau kepada dewan perwalian. Terhadap penetapan-penetapan ini tidak
diperkenankan memohon banding. Penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai
putusan yang menolak gugatan perceraian memperoleh kekuatan hukum yang pasti;
dalam hal gugatan diterima, penetapan-penetapan itu tetap berlaku sampai satu
bulan berlalu, setelah penetapan yang diberikan berkenaan dengan itu untuk
mengatur soal perwalian memperoleh kekuatan hukum yang pasti. (Rv. 836, 839.)
Mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan sesuai dengan alinea pertama, berlaku
alinea ketujuh dan kedelapan pasal 319f.
215.
Hak-hak si suami mengenai pengurusan harta si istri tidak terhenti selama
perkara berjalan; hal ini tidak mengurangi wewenang si istri untuk melindungi
haknya, dengan melakukan tindakan-tindakan pencegahan yang ditunjukkan dalam
ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata. Semua akta si suami yang sengaja
mengurangi hak-hak si istri adalah batal. (KUHPerd. 105, 124, 192, 1341; Rv.
840.)
216.
Hak untuk menuntut perceraian perkawinan gugur jika terjadi perdamaian
suami-istri, entah perdamaian itu terjadi sesudah si suami atau si istri
mengetahui perbuatan-perbuatan yang sedianya boleh dipakai sebagai alasan untuk
menggugat, entah setelah gugatan untuk perceraian dilakukan. Undang-undang
menganggap telah ada perdamaian, bila si suami dan si istri tinggal bersama
lagi setelah si istri dengan izin hakim meninggalkan rumah kediaman mereka
bersama. (KUHPerd. 212 dst., 217, 220, 235, 1921; Rv. 831 dst.)
217.
Suami atau istri, yang mengajukan gugatan baru atas dasar suatu sebab baru yang
timbul setelah perdamaian, boleh mempergunakan alasan-alasan yang lama untuk
mendukung gugatannya. (KUHPerd. 209, 213, 219.)
218.
Gugatan untuk perceraian perkawinan atas dasar meninggalkan tempat tinggal
bersama dengan itikad buruk, gugur bila suami atau istri, sebelum diputuskan
perceraian, kembali ke rumah kediaman bersama. Namun bila setelah kembali,
suami atau istri itu meninggalkan lagi rumah tinggal bersama tanpa sebab yang
sah, pihak lain boleh memulai gugatan baru untuk perceraian perkawinan enam
bulan setelah kepergian itu, dan boleh menggunakan alasan-alasan lama untuk
mendukung gugatannya. Dalam hal itu, gugatan perceraian perkawinan tidak akan
gugur bila pihak yang meninggalkan tempat tinggal bersama itu kembali sekali
lagi. (KUHPerd. 211, 216 dst.)
219.
Dalam kedua hal yang diatur dalam pasal 210, suami atau istri yang membiarkan
lampau waktu enam bulan terhitung dari hari putusan hakim mendapat kekuatan
hukum yang pasti, tidak dapat diterima lagi untuk memulai gugatan perceraian
perkawinan. Bila salah seorang dari suami-istri itu berada di luar negeri pada
waktu pihak yang lain mendapat putusan hukuman, maka jangka waktu yang
ditetapkan adalah enam bulan dihitung mulai dari hari kembalinya ke Indonesia.
220.
Gugatan untuk perceraian gugur, bila salah seorang dari kedua suami-istri
meninggal sebelum ada putusan. (KUHPerd. 199-11.)
221.
(s.d.u. dg. S. 1916-530.) Perkawinan dibubarkan oleh keputusan hakim dan
pendaftaran perceraian yang ditetapkan dengan putusan itu dalam daftar-daftar
catatan sipil. Pendaftaran itu harus dilakukan atas permohonan kedua
suami-istri atau salah seorang dari mereka di tempat pendaftaran perkawinan
itu. Jika perkawinan itu dilaksanakan di luar Indonesia, maka pendaftaran harus
dilakukan dalam daftar-daftar catatan sipil di Jakarta. Pendaftaran itu harus
dilakukan dalam jangka waktu enam bulan, terhitung dari hari putusan itu
memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Bila pendaftaran itu tidak dilakukan
dalam jangka waktu itu, kekuatan putusan perceraian itu hapus, dan perceraian
tidak dapat dituntut sekali lagi atas dasar dan alasan yang sama. (KUHPerd.
245, 254; BS. 64; Rv. 843; untuk ketentuan-ketentuan sementara yang menyimpang
dan pengaturan-pengaturan tentang pendaftaran, lihat S. 1945-14, S. 1946-24.)
222.
Suami atau istri yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan, boleh
menikmati keuntungan-keuntungan yang dijanjikan kepadanya oleh pihak lain
berkenaan dengan perkawinan mereka, sekalipun keuntungan-keuntungan itu
dijanjikan secara timbal-balik. (KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 327.)
223.
Sebaliknya, suami atau istri yang dinyatakan kalah dalam putusan perceraian
itu, kehilangan semua keuntungan yang dijanjikan oleh pihak lain kepadanya
berkenaan dengan perkawinan mereka. (KUHPerd. 139, 168 dst., 228, 317.)
224.
Dengan berlakunya perceraian perkawinan, keuntungan-keuntungan, yang dijanjikan
akan keluar setelah kematian salah seorang dari suami-istri itu, tidak segera
dapat dituntut; pihak yang gugatannya untuk perceraian perkawinan dikabulkan,
baru boleh mempergunakan haknya akan keuntungan-keuntungan itu setelah pihak
lawannya meninggal. (KUHPerd. 168 dst., 173, 175, 317.)
225.
Bila suami atau istri, yang atas permohonannya dinyatakan perceraian, tidak
mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk biaya penghidupan, maka pengadilan
negeri akan menetapkan pembayaran, tunjangan hidup baginya dari harta pihak
yang lain. (KUHPerd. 103, 227.)
226.
Dihapus dg. S. 1938-622.
227.
Kewajiban untuk memberi tunjangan hidup terhenti dengan kematian si suami atau
si istri.
228.
Tunjangan-tunjangan yang dijanjikan oleh pihak ketiga dalam perjanjian
perkawinan, tetap harus dibayar kepada si suami atau si istri yang mendapat
jari untuk kepentingannya. (KUHPerd. 176 dst., 222.)
229.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Setelah memutuskan perceraian, dan
setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga
sedarah atau semenda dari anak-anak yang di bawah umur, pengadilan negeri akan
menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap
anak, kecuali jika kedua orang tua itu telah dipecat atau dilepaskan dari
kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang
mungkin memecat atau melepaskan mereka dari kekuasaan orang tua. (KUHPerd.
230a, b, 319a.) Penetapan ini tidak berlaku sebelum hari putusan perceraian
perkawinan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Sebelum itu tidak usah
dilakukan pemberitahuan, dan tidak boleh dilakukan perlawanan atau banding.
Terhadap penetapan ini, si ayah atau si ibu yang tidak diangkat menjadi wali
boleh melakukan perlawanan, bila dia tidak hadir atas panggilan yang dimaksud
dalam alinea pertama. Perlawanan ini harus dilakukan dalam waktu tiga puluh
hari setelah penetapan itu diberitahukan kepadanya. (Rv. 83.) Si ayah atau si
ibu yang setelah hadir atas panggilan tidak diangkat menjadi wali, atau yang
perlawanannya ditolak, dalam tiga puluh hari setelah hari termaksud dalam
alinea kedua, dapat naik banding mengenai penetapan itu. (Rv. 341.) Alinea
keempat pasal 206 berlaku terhadap pemeriksaan para orang tua.
230.
(s.d.u. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pengadilan negeri, atas dasar hal-hal
yang terjadi setelah putusan perceraian perkawinan memperoleh kekuatan hukum
yang pasti, berkuasa untuk mengubah penetapan-penetapan yang telah diberikan
menurut alinea pertama pasal yang lalu atas permohonan kedua orang tua atau
salah seorang setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua orang tua, para
wali pengawas dan keluarga sedarah atau semenda anak-anak yang di bawah umur.
Penetapan-penetapan ini boleh dinyatakan dapat dilaksanakan segera meskipun ada
perlawanan atau banding, dengan atau tanpa jaminan. Ketentuan alinea keempat
dan kelima pasal 206 berlaku terhadap hal ini.
230a.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390.) Bila anak-anak yang di bawah umur belum
berada dalam kekuasaan nyata orang yang berdasarkan pasal 229 atau pasal 230 ditugaskan
menjadi wali, atau dalam kekuasaan si ayah, si ibu, atau dewan perwalian yang
mungkin diserahi anak-anak itu berdasarkan pasal 214 alinea pertama, maka dalam
penetapan itu juga harus diperintahkan penyerahan anak-anak itu.
Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga, keempat dan kelima pasal 319h dalam
hal ini berlaku.
230b.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421.) Pada penetapan termaksud dalam alinea
pertama pasal 229, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti yang
dimaksud dalam alinea itu dan setelah mendengar dewan perwalian, bila ada
kekhawatiran yang beralasan, bahwa orang tua yang tidak diserahi tugas
perwalian, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya untuk biaya hidup dan
pendidikan anak-anak yang masih di bawah umur, pengadilan negeri boleh
memerintahkan juga, bahwa orang tua itu untuk biaya hidup dan pendidikan anak
tiap-tiap minggu atau tiap-tiap bulan atau tiap-tiap tiga bulan akan
membayarkan kepada dewan perwalian suatu jumlah yang dalam pada itu ditentukan.
Ketentuan-ketentuan alinea kedua, ketiga dan keempat pasal 229 berlaku juga
terhadap perintah ini.
230c.
(s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421; s.d.u. dg. S. 1938-622.) Bila tidak ada
perintah seperti yang dimaksud dalam alinea pertama pasal sebelum ini, dewan
perwalian boleh menuntut pembayaran tunjangan itu lewat pengadilan, setelah
putusan tentang perceraian perkawinan itu didaftarkan dalam daftar-daftar
catatan sipil.
230d.
s.d.t. dg. S. 1927-31 jis. 390, 421; hapus dg. S. 1938-622.
231.
Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang
lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah
dijaminkan bagi mereka oleh undang-undang, atau oleh perjanjian perkawinan
orang tua mereka. Akan tetapi anak-anak itu tidak boleh menuntutnya, selain
dengan cara yang sama dan dalam keadaan yang sama seakan-akan tidak pernah
terjadi perceraian perkawinan. (KUHPerd. 175, 178, 181 dst., 311, 317, 852
dst.)
232.
Bila suami-istri yang bercerai itu dahulu kawin dengan gabungan harta-bersama,
pembagian harta harus dilakukan berdasarkan dan dengan cara seperti yang
ditentukan dalam Bab VI. (KUHPerd. 126, 128, 1066 dst.)
232a.
(s.d.t. dg. S. 1923-31, s.d.u. dg. S. 1928-546.) Bila suami-istri itu kawin
kembali satu sama lain, semua akibat perkawinan itu menurut hukum dengan
sendirinya timbul kembali, seakan-akan tidak pernah terjadi perceraian. Namun
hal ini tidak mengurangi kelanjutan berlakunya perbuatan-perbuatan yang
sekiranya telah dilakukan terhadap pihak-pihak ketiga selama waktu antara
perceraian itu dan perkawinan baru, dan tidak mengurangi kelanjutan berlakunya
penetapan-penetapan hakim, yang sekiranya telah memecat atau melepaskan
suami-istri itu dari perwalian atas anak-anak mereka sendiri,
penetapan-penetapan mana harus dipandang sebagai pemecatan atau pelepasan dari
kekuasaan orang tua. Segala persetujuan antara suami-istri yang bertentangan
dengan ini adalah batal. (KUHPerd. 33, 149, 196-198.)
Referensi
:
id.wikipedia.org/hukum
id.wikipedia.org/hukum_indonesia
http://id.wikisource.org/wiki/Kitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata/Buku_Kesatu
0 komentar:
Posting Komentar